Ironi Eks RPH Siantar, Dibangun Era Kolonial Diterlantarkan Era Milenial

Lahan Eks RPH di Jl.Melanthon Siregar

SEJAK Rumah Potong Hewan (RPH) dipindahkan dari Jalan Melanthon Siregar, Kelurahan Toba, Kecamatan Siantar Selatan ke Jalan Manunggal Kelurahan Pematang Marihat Jaya, Kecamatan Siantar Marimbun tahun 2015 lalu, hingga kini lahan bekas RPH masih dalam kondisi terlantar yang dipenuhi semak belukar. Lokasi ini tampak ironis, karena dibangun era kolonial malah diterlantarkan di era milenial.

Padahal rencana semula, kawasan eks RPH yang dibangun era kolonial Belanda ini bakal ‘disulap’ jadi pusat pasar modern bernama Siantar City Mall dengan menggandeng pihak investor. Pengelolanya diserahkan kepada Perusahaan Daerah Pembangunan dan Aneka Jasa (PD-PAUS) yang telah dibentuk tahun 2014.

Bacaan Lainnya

Namun di tengah perjalanan, rencana pembangunan kios sebanyak 254 unit di lokasi ini tak kunjung rampung hingga hari ini. Dampaknya, para peminat kios yang sudah sempat menyetor uangnya minta pengembalian dan akhirnya menimbulkan masalah berkepanjangan yang berujung pada gugatan hukum di Pengadilan Negeri Pematang Siantar tahun 2021 lalu. Bahkan, sertifikat lahan eks RPH ini disebutkan hilang semasa Direktur Utama PD.PAUS dijabat Herowin Sinaga.

Namun menurut pengganti Herowin sebagai Direktur Utama PD.PAUS, Benhard Hutabarat, sertifikat yang hilang tersebut sudah diurus kembali ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Sertifikat yang dulu pernah tidak kelihatan dan pernah diserah terimakan kepada Dirut yang terdahulu, telah diurus dan penggantinya telah terbit disimpan oleh Bidang Aset BPKD. Selanjutnya pengurusan menjadi HPL dari Pemko kepada PD.PAUS,”sebutnya saat dihubungi pada Jumat (7/10/2022).

Lantas bagaimana dengan status bangunan yang ada sekarang, apa investornya tidak menuntut ganti rugi? “Bangunan-bangunan yang telah terbangun, dibangun oleh investor. Saat ini belum menuntut walaupun investor pernah menanyakannya. Karena saat ini masih dalam proses adendum perjanjian yang terdahulu,”imbuhnya.

Berarti belum ada rencana dalam waktu dekat untuk melanjutkan pembangunannya? “Akan dilakukan terlebih dahulu adendum atas perjanjian kerjasama dengan investor yang lama. Kemudian dilakukan pengurusan HPL dan aset-aset PD.PAUS yang sertifikatnya masih atas nama Pemko Pematang Siantar. Itulah yang harus diurus HPL nya dan saat ini masih berproses. Karena itulah yang menjadi pegangan secara legal,”ujarnya.

Ditemui terpisah di ruang kerjanya, Jumat (7/10/2022), Kepala Bidang Aset Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), Alwi Lumbangaol membenarkan jika sertifikat lahan eks RPH sudah kelar dan masih mereka pegang. “Kita akan berikan jika persoalan mereka dengan pihak investor sudah tuntas. Karena kita tidak menginginkan sertifikatnya hilang lagi seperti yang sudah pernah terjadi. Namun jika sudah tuntas, pasti kita akan berikan Hak Pengelolaan (HPL) kepada PD.PAUS di atas Hak Guna Bangunan (HGB) pada lahan tersebut,”ujarnya.

Dibangun Kolonial Belanda Tahun 1919.

Dari penelusuran dokumen kolonial, yakni Surat Kabar terbitan Medan, De Sumatra Post, 22 Januari 1919, melaporkan hasil rapat tertutup Dewan Rakyat (volksraad) yang salah satunya memberikan izin pemanfaatan sungai Bah Bolon untuk pembangkit listrik serta pembangunan Rumah Potong Hewan di sekitar Marihat. Rumah potong hewan (slachthuis) inilah yang kemudian dibangun pada pertengahan tahun 1919 di perempatan Jalan Marihat (Melanthon Siregar) dan Jalan Nias, tak jauh dari aliran sungai Bah Silulu yang muaranya ke Sungai Bolon.

RPH ini dibangun setelah Pematang Siantar ditetapkan sebagai kotamadya (gemeente) oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1917, pada masa Asisten Residen Simeloengoen en Karolanden dijabat oleh Jan Tideman.  Jan Tideman pula yang membangun Balai Kota Pematang Siantar yang hingga sekarang masih digunakan sebagai Kantor Wali Kota.

Dalam buku laporan memori tugasnya tahun 1922, sebagai pejabat kolonial, Jan Tideman menerangkan bahwa rumah potong hewan ini diawasi ketat oleh dokter hewan kotapraja (kotamadya) dan sudah dibangun secara modern. Dana pembangunannya sebesar 37.200 gulden merupakan pinjaman Pemerintah Kota. Infrastrukturnya dibangun menurut sistem paviliun, di tengahnya ada kantor dan dilengkapi dengan laboratorium. Bangunan utamanya terdiri dari dua unit yang dipisahkan, yakni bagian pertama untuk pemotongan hewan-hewan besar dan kecil (kerbau, sapi dan kambing/domba). Sedangkan bagian kedua yang dipisahkan dengan tembok tinggi diperuntukkan khusus untuk pemotongan hewan babi.

Setiap hari, rata-rata sebanyak 4 ekor ternak besar, 8 ekor babi, dan 2 ekor kambing atau domba dipotong di RPH ini. Untuk upah potong ternak besar (kerbau, sapi) dan babi sebesar 2,50 gulden sedangkan untuk kambing dan domba sebesar 0,25 gulden. Selain itu, masih dipungut pula biaya pemeriksaan hewan sebesar 0.25 gulden untuk ternak besar dan 0,10 gulden untuk ternak kambing, domba dan babi. Keseluruhan aktivitas RPH dipimpin oleh seorang dokter hewan yang merangkap menjadi Direktur Usaha Potong Hewan dan Pemasaran. Dibantu oleh seorang mantri hewan yang sekaligus mengawasi peternakan, pemerahan dan pemasaran susu hewan. (jh)

 

Pos terkait