PEREKONOMIAN dunia tengah menghadapi badai yang sempurna atau perfect storm. Istilah ini diambil dari kombinasi dari beberapa jenis badai, seperti typhoon dan hurricane. Perfect storm itu beberapa badai terjadi sekaligus. Tampaknya skenario perfect storm ini yang makin terjadi dalam probabilitas ke depan. Hal tersebut dikatakan Akademisi Universitas Prima Indonesia Medan, Robert Tua Siregar Ph.D, kemarin.
Sebelumnya, IMF dan Bank Dunia (World Bank) kembali memperingatkan adanya peningkatan risiko resesi global karena ekonomi maju melambat dan inflasi yang lebih cepat. Kondisi tersebut memaksa Federal Reserve (The Fed) untuk terus menaikkan suku bunga serta menambah tekanan utang pada negara-negara berkembang.
Perfect storm yang melanda perekonomian global saat ini terjadi karena pelbagai akumulasi masalah. Diantaranya, tingginya angka inflasi yang bahkan di negara-negara maju memecahkan rekor dalam periode 30-40 tahun terakhir. Selian itu juga terjadinya resesi serta ketidakpastian akibat konflik geopolitik. “Kalau dulu dan bahkan sampai sekarang, jika belajar teori ekonomi, bagian yang ketiga itu tidak ikut diajarkan karena bukan dari bagian ekonomi mustinya. Tapi ternyata itulah yang saat ini paling besar menyebabkan ketidakpastian,”katanya.
Negara – negara besar menurut Dosen Pascasarjana Universitas Sumatera Utara ini, saat menghadapi gejolak seperti Amerika Serikat, ekonomi terbesar di dunia, pasar tenaga kerja masih sangat kuat. Tetapi mereka juga kehilangan momentum karena dampak biaya pinjaman yang lebih tinggi mulai menggigit. Mengutip pernyataan Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, imbuh Robert, roda perekonomian di wilayah Eropa melambat karena harga gas alam melonjak. Sementara itu, perlambatan ekonomi Cina juga terjadi karena kebijakan zero covid policy dan volatilitas di sektor perumahan.
Lantas, bagaimana Indonesia menghadapinya? Presiden Joko Widodo telah menyampaikan sambutan saat pembukaan World Conference on Creative Economy (WCCE) di Nusa Dua, Bali, Kamis 6 Oktober 2022. Dalam konferensi ekonomi kreatif internasional tersebut, diharapkan dapat menghasilkan aksi strategis untuk ditindaklanjuti guna membangkitkan ekonomi dan memulihkan sektor ekonomi kreatif global.
Untuk itu, harus berhati-hati menghadapi krisis ekonomi global saat ini yang diakibatkan konflik geopolitik hingga pandemi. Apalagi dampaknya telah membuat ekonomi 28 negara ambruk dan meminta tolong ke Dana Moneter Internasional (IMF). Ancaman lain juga muncul dari segi fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Hal ini semakin berpengaruh terhadap inflasi dari harga produsen.
Dengan kondisi sekarang, kata Dosen Pascasarjana STIE Sultan Agung ini, kita harus bekerja ekstra keras. Tidak bisa bekerja seperti biasa-biasa lagi di tengah gejolak krisis ini. Tidak bisa kita kerja sekadar rutinitas. Bekerja makro, bekerja mikro, hanya bekerja detail yang bisa menyelamatkan negara kita.
Fluktuasi lonjakan harga semua komoditi yang terjadi tiba-tiba, diikuti harga bahan bakar minyak (BBM) naik, harga beras langsung terkerek tentu hal ini menimbulkan ketidakpastian. Misalnya dari satu karung atau sebanyak 50 Kg beras, harganya meningkat hingga Rp 100 ribu. Pedagang terpaksa menerima kenaikan harga ini karena makin mahalnya biaya angkut dan kian menipisnya stok beras di gudang.
Jika dalam harga pasar yang sudah berlaku akan sulit melakukan normalisasi penurunan. Tentu hal ini menjadi permasalahan makro ekonomi. Untuk itu pemerintah daerah yang berhadapan langsung dengan masyarakat harus melakukan inovasi dalam penguatan ekonomi. “Jangan sampai pertumbuhan ekonomi yang lagi melonjak kembali jeblok,”katanya.
Menurut Robert, Indonesia sebagai negara agraris, tentu memiliki potensi dalam mengahadapi badai ekonomi. Namun jika tidak didukung inovasi pengambil kebijakan, hal ini tidak akan signifikan dalam melahirkan solusi. Peran sektor pertanian sebagai penyelamat ekonomi nasional tak terduga. Ini harus menjadi trigger bagi pengambil kebijakan bahwa sektor pertanian masih strategis dan jangan mengabaikan penguatan pertanian meskipun di balik peran krusial pertanian itu terdapat masalah lain.
Pertanian merupakan sektor yang memasok kebutuhan perut kita. Di dalamnya ada beras dan bahan pangan lainnya. Maka jangan pernah mengabaikan sektor pertanian. Sektor pertanian harus mendapat perhatian khusus dan jangan sekali-kali diabaikan. Sektor ini merupakan tempat bergantung bagi kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Pada tahun 2020, sekitar 29.8% angkatan kerja kita bekerja di sektor pertanian. Sektor pertanian ini juga menghasilkan produk pangan pokok. Jika produksi pangan terganggu, bisa mendorong menaikkan harga dan ini bisa menimbulkan instabilitas politik jika harga pangan naik. Sementara jika kita impor, maka ada negara terindikasi kedaulatan pangan turun dan perut kita tergantung negara lain. Dukungan sektor ini tentu dari sisi saprodi dan sarpras serta pasar yang sehat harus menjadi perhatian pemerintah.
Perlu dilakukan kebijakan-kebijakan penguatan tata kelola ketersediaan sarprodi dan sarpras. Juga perlu dilakukan inovasi pengganti, khususnya untuk saprodi. Tata kelola perlu dilakukan dengan pengolahan komoditi untuk dapat nilai tambah dengan pengolahan sebagai komsumsi lokal. Dengan demikian, kebutuhan tidak lagi harus impor dari luar negeri, tetapi dapat dilakukan dari hasil pengolahan lokal, misalnya kebutuhan sandang dan pangan.
Perlunya keringanan regulasi serta dukungan penguatan UMKM yang secara seignifikan dirasakan dan memicu perputaran economic fast di tengah-tengah masyarakat. Tentu hal ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi inflasi. “Pemerintah sebagai operator jalannya perekonomian, harus melakukan tindakan-tindakan konkrit di tengah masyarakat secara masif untuk menghadapi badai ekonomi yang sudah kita rasakan dan akan kian membesar,”ujar Robert yang juga dosen Pascasarjana Universitas HKBP Nomensen Medan ini. (jh)