Sapangambei Manoktok Hitei Tak Kunjung Diperdakan

Komitmen Setengah Hati Wali Kota dan DPRD Pematang Siantar?

Jika kita mengamati penggunaan logo ‘resmi’ Kota Pematang Siantar, sama sekali tak tercantum kalimat: Sapangambei Manoktok Hitei. Padahal, konon katanya, sudah sejak lama kalimat ini menjadi moto di kota sejuk nan dinamis yang sekarang dipimpin Susanti Dewayani ini. Berbeda dengan tetangga sebelah (Kabupaten Simalungun) secara tegas menuliskan moto: Habonaron do Bona dalam logo resmi pemerintahannya. Lantas menjadi pertanyaan kritis kita, sejak kapan legalitas Sapangambei Manoktok Hitei  dijadikan sebagai moto di kota berpenduduk 268.254 jiwa ini (BPS; 2022)? .

Bacaan Lainnya

Secara harafiah, Sapangambei Manoktok Hitei diartikan sebagai, “Bersama-sama (bergotong-royong/ bahu-membahu) membangun jembatan”. Filisofi kultural ini merupakan nilai luhur etik Simalungun yang sudah sejak lama bertumbuh, berkembang di tengah masyarakat etnik Simalungun. Dalam kaitannya dengan penghargaan terhadap kultur lokal, tentu harus diakui bahwa etnik Simalungun lah yang menjadi suhut (tuan rumah) di Kota Pematang Siantar. Oleh karena itu, sudah sepatutnya segenap etnik yang mendiami wilayah ini menjunjung tinggi harkat dan martabat serta nilai-nilai luhur Simalungun yang termaktub dalam falsafah Sapangambei Manoktok Hitei guna membangun kehidupan masyarakat multikultural nan harmoni.

 

Sayangnya, meski usia Kota Pematang Siantar sudah mencapai lebih 1,5 abad, legalitas formal falsafah Sapangambei Manoktok Hitei sebagai moto Kota Pematang Siantar tak kunjung kelar. Terbukti hingga sekarang kalimat tersebut belum ada dicantumkan resmi dalam Lambang Daerah Kota Pematang Siantar. Padahal sudah sejak lama dan bahkan hingga sekarang, kerap kali petinggi kota ini mengumandangkan Sapangambei Manoktok Hitei dalam beragam gelaran seremoni pemerintahan saat memberikan sambutan.

 

Tak kunjung dicantumkannya falsafah Sapangambei Manoktok Hitei dalam Lambang Daerah Kota Pematang Siantar, disebabkan belum ada legalitas (Peraturan Daerah) yang mengikat secara hukum. Dampaknya secara de facto, selama ini nilai-nilai dan makna Sapangambei Manoktok Hitei belum terkristalisasi, apalagi menjadi nilai-nilai hidup masyarakat meski kerap digaungkan para petinggi kota ini. Selain faktor legalitas, fenomena lain ditengarai juga akibat minimnya sosialisasi melalui publikasi media. Akibatnya belum ada kesamaan persepsi tentang makna dan bagaimana Sapangambei Manoktok Hitei harus diaplikasikan secara baik dan benar agar menjadi perekat di tengah masyarakat yang multikultural.

Dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Universitas Simalungun pada April 2021, sejatinya telah banyak masukan dan saran yang disampaikan para akadamisi serta budayawan maupun pemerhati lainnya tentang  pentingnya legalitas moto Sapangambei Manoktok Hitei segera dituntaskan. Hasil FGD bertopik: “Quo Vadis: Sapangambei Manoktok Hitei? Patunggung Moto Kota Pematang Siantar” ini bahkan sudah diterbitkan dalam bentuk buku. Hasilnya  sudah pula diserahkan kepada Pemerintah Kota dan Pimpinan DPRD. Hanya saja, tindak lanjutnya oleh kedua lembaga ini belum ada hingga sekarang?.

FGD tersebut merupakan bentuk partisipasi dan kontribusi Universitas Simalungun bersama elemen masyarakat dalam memberikan dorongan dan penguatan, agar Wali Kota dan DPRD Pematang Siantar, sungguh-sungguh dan berketetapan hati untuk segera merampungkan Ranperda tentang Lambang Daerah. Tentunya dengan mencantumkan Sapangambei Manoktok Hitei sebagai moto resmi Kota Pematang Siantar. Dalam FGD tersebut juga mengemuka tentang pentingnya komitmen bersama dalam rangka menghormati/ memuliakan (patunggung) Sapangambei Manoktok Hitei dalam rangka membangun perspektif masyarakat yang terinternalisasi. Sekaligus membentuk karakter warga Kota Pematang Siantar yang senantiasa menghormati kearifan lokal (local wisdom).

Dalam rangka itu pula, dibutuhkan ruang publik yang inklusif untuk memberi wadah kontribusi pemikiran ketika merencanakan pembangunan berbasis wilayah. Dengan demikian, kultur lokal dapat terakomodir melalui partisipatif yang komunikatif dengan melibatkan aktor mitra setara bersama elemen masyarakat (bottom up planning). Perencanaan Tata Ruang Kota Pematang Siantar juga harus berlandaskan falsafah Sapangambei Manoktok Hitei sehingga dalam rangka membangun kota yang multi etnik, senantiasa mengedepankan ciri khas ornamen/arsitektur Simalungun sebagai bentuk patunggung terhadap kearifan lokal pada bangunan-bangunan pemerintah/ swasta/ perkantoran serta ruang-ruang publik lainnya.

Terungkap pula dalam FGD tersebut, DPRD Kotamadya Pematangsiantar melalui SK No. 12/DPRD/X/1992 sudah pernah menyetujui agar moto Sapangambei Manoktok Hitei dicantumkan dalam Lambang Daerah Kotamadya Pematangsiantar. Melalui Perda Nomor 22 Tahun 1995, Pemerintah Kotamadya Pematangsiantar sudah pernah menyempurnakan Logo Daerah yang telah digunakan sejak tahun 1963 (Perda No. 8/Dprdgr/1963) namun tak kunjung rampung. Wali Kota Pematang Siantar akhirnya menerbitkan SK No. 800/226/III/Wk-Tahun 2012 tentang Penataletakan moto Sapangambei Manoktok Hitei dalam Lambang Daerah yang disempurnakan kembali tahun 2015.

Pada tahun 2020, Pemko Pematang Siantar telah mengajukan Ranperda tentang Lambang Daerah kepada DPRD, dan telah disetujui untuk dilengkapi dengan naskah akademik. Sekaitan dengan itu, pada tahun 2021, Pemko Pematang Siantar sejatinya akan menyelenggarakan lomba cipta Himne Kota Pematang Siantar sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah dalam rangka mendukung pembahasan Ranperda tentang Lambang Daerah Kota Pematang Siantar. Sayangnya, hingga saat ini, semuanya tinggal rencana yang tak kunjung dituntaskan!

Kita berharap ada kepastian hukum di era Susanti Dewayani menjabat Wali Kota dan Timbul Marganda Lingga sebagai Ketua DPRD. Intinya, landasan hukum moto Kota Pematang Siantar harus segera di-Perda-kan. Hal ini dimaksudkan agar ada rumusan yang tegas, lugas dan jelas sehingga tidak menimbulkan multi tafsir di tengah masyarakat tentang pengertian atau makna Sapangambei Manoktok Hitei. Apalagi warga kota Pematang Siantar terdiri dari beragam etnik yang harus dapat hidup berdampingan secara harmoni. (jalatua/litbang intuisi)

Pos terkait