Sengitnya Tarikan Partai Politik, Pencalonan Wakil Wali Kota Siantar Terancam Berkepanjangan?

foto.dok

Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi telah resmi melantik Susanti Dewayani sebagai Wali Kota Pematang Siantar, Senin 22 Agustus 2022. Sebelumnya selama enam bulan, Susanti menjabat Wakil Wali Kota sekaligus Pelaksana Wali Kota, sejak 22 Februari 2022. Kini, persoalan yang tersisa, bagaimana agar kekosongan jabatan Wakil Wali Kota bisa segera terisi. Tentu siapa pun boleh mengisi jabatan tersebut asalkan memenuhi syarat serta memenangkan perolehan suara terbanyak dalam pemilihan yang bakal digelar di DPRD.

Jalatua – Litbang Intuisi.co.id

Bacaan Lainnya

DPRD Pematang Siantar sendiri, sudah pernah punya pengalaman memilih Wakil Wali Kota pada periode 2017-2022. Hanya saja, kali ini ada konteks yang berbeda jika dibanding periode lalu. Pun begitu, ada persamanannya, yakni sama-sama Wakil Wali Kota-nya diangkat menjadi Wali Kota karena Wali Kota terpilih meninggal dunia. Pada periode lalu partai pengusung hanya satu yakni Partai Demokrat, sehingga tak ada tarik-menarik di ranah parpol, khususnya saat pendaftaran calon. Sekarang konteksnya berbeda karena seluruh parpol yang ada di DPRD, berhak mengusung calon. Pasalnya, saat Pilkada 2020, seluruh parpol pemilik kursi di DPRD mencalonkan pasangan yang sama, yakni Asner Silalahi/Susanti Dewayani melawan kolom kosong.

Kekompakan delapan parpol di masa lalu inilah yang justru belakangan menyisakan persoalan pelik. Sebab tak mudah merajut kembali romantisme yang lalu agar mereka mengajukan pasangan calon yang sama. Fenomena ini diprediksi bakal menimbulkan tarik-menarik kepentingan politik serta polemik berkepanjangan. Padahal regulasi sudah tegas mengatur bahwa Pilkada selanjutnya bakal digelar November 2024. Artinya, meski jabatan Wali Kota/Wakil Wali Kota Pematang Siantar disebutkan sampai tahun 2027, tentu bakal ada pemotongan masa jabatan dengan kompensasi tertentu.

Pasal 176 ayat (1) pada UU No.10/2016 tentang Pilkada menyebutkan, dalam hal Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Wali Kota berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Wali Kota dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usulan dari Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung. Pada ayat (2) disebutkan Partai Politik atau gabungan Partai Politik pengusung mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Wali Kota kepada DPRD melalui Gubernur, Bupati, atau Wali Kota untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD.

Regulasi tersebut menegaskan bahwa kewenangan mengusulkan calon Wakil Wali Kota sepenuhnya ada di parpol pengusung. Bukan berdasarkan usulan DPRD, Wali Kota, aspirasi publik atau organisasi tertentu. Mencermati hal ini, lumrah saja jika Ketua Partai Golkar Pematang Siantar, Mangatas Silalahi yang telah direkomendasikan partainya bakal maju dalam pemilihan nantinya. Wakil Ketua DPRD Pematang Siantar ini, bahkan sering menegaskan ke publik jika dirinya sudah mendapat rekomendasi dari Partai Golkar pada April 2022 lalu.

Demikian juga parpol lainnya: PDI Perjuangan, Hanura, Nasdem, Demokrat, Gerindra, Partai Amanat Nasional dan PKP Indonesia, semua berhak mengusulkan calon sesuai mekanisme partai masing-masing. Problemnya, jika masing-masing parpol ngotot mengajukan calonnya sendiri-sendiri, tentu dinamika politik bakal memanas dan terancam berkepanjangan. Karena UU mengamanatkan bahwa parpol pengusung berhak mengajukan calon, maka tak ada yang salah ketika masing-masing mengajukan calonnya. Soal siapa pemenangnya kelak akan ditentukan saat pemilihan di DPRD.

Sesederhana itukah? Tentu tidak juga! Sebab tak gampang bagi parpol mengajukan calon meski peluang tersedia. Walaupun yang mendaftarkan calon adalah pimpinan parpol tingkat kota, tetapi penentu siapa vigur yang bakal diusung harus mendapat rekomendasi pimpinan pusat masing-masing parpol. Pasalnya, sistem politik kita tidak menganut prinsip desentralistik atau otonom tetapi justru sentralistik. Semua kebijakan strategis partai harus mendapatkan rekomedasi pimpinan pusat. Ibarat perseroan terbatas (PT), penentu kebijakan parpol adalah pemiliknya, bukan pengurus wilayah atau cabang. Jika melawan kebijakan pusat? Siap-siap untuk dieksekusi!

Sebelum mengajukan calon, parpol tentu punya sejumlah kriteria dan pertimbangan politis maupun praktis, setidaknya peluang untuk menang. Sebab untuk meraih kemenangan harus piawai pula melobi pemilik hak suara di DPRD karena penentuan pemenang adalah suara terbanyak. Logika sederhananya, meskipun direkomendasikan parpol, tetap yang berwenang memberikan hak suara saat pemilihan adalah anggota DPRD. Oleh karena itulah, saat melakukan lobi-lobi politik, seorang kandidat tak bisa sekadar cuap-cuap, cakap-cakap apalagi janji-janji manis belaka. Lobi politik tentu butuh komitmen serta cost yang besar. Apalagi yang harus dihadapi adalah pimpinan parpol tingkat pusat, provinsi dan terakhir tingkat kota.

Dampaknya, potensi munculnya faksi-faksi bahkan friksi-friksi di lembaga DPRD sulit dihindari. Sebab masing-masing parpol punya kepentingan dan agenda-agenda politik tersendiri dan hal itu dirasa sesuatu yang wajar. Kondisi ini akan menyita waktu, tenaga, pikiran dan biaya politik yang makin besar. Sebaliknya, publik juga semakin kritis menyikapi kinerja DPRD. Jangan sampai karena sibuk memikirkan pengisian jabatan Wakil Wali Kota, DPRD malah melupakan tugas utamanya selaku wakil rakyat?.

Ketulusan Parpol Pengusung Asner/Susanti?

Regulasi memang telah memberikan kewenangan mengusulkan calon Wakil Wali Kota sepenuhnya kepada parpol. Tetapi akan sangat bijaksana, jika parpol pengusung berefleksi kembali sekadar melihat kilas balik peristiwa yang ada. Apalagi sejak awal, seluruh parpol sepakat mengusung pasangan Asner Silalahi/Susanti Dewayani bertarung melawan kolom kosong. Faktanya, pasangan inilah yang ditetapkan KPU Pematang Siantar sebagai pemenang karena perolehan suaranya jauh melampaui kolom kosong.

Beranjak dari komitmen tersebut, alangkah sangat bijaksana jika dalam menentukan calon Wakil Wali Kota nantinya, mereka juga diharapkan sepakat mengusung nama 2 (dua) orang yang sama, untuk dipilih DPRD. Selain bentuk empati, apresiasi atau penghargaan kepada keluarga almarhum Asner Silalahi yang telah berjuang memenangkan usulan parpol sebelumnya, kebersamaan mereka juga akan meredam potensi tingginya friksi politik di DPRD. Selain itu, banyak pula aspirasi dari berbagai elemen masyarakat yang mengharapkan ketulusan parpol pengusung, agar perwakilan keluarga diberikan kesempatan meneruskan perjuangan almarhum Asner Silalahi.

Pihak keluarga juga tampaknya telah mempersiapkan putra sulung almarhum, yakni Sondi Pittor Manahan Silalahi yang akan diusulkan menjadi Wakil Wali Kota menggantikan posisi Susanti Dewayani setelah dilantik sebagai Wali Kota. Apalagi hingga saat ini, Sondi tidak menjadi anggota salah satu parpol yang sebelumnya mengusung ayahandanya, sehingga posisisnya terbilang netral terhadap seluruh parpol.

Semudah itu kah? Tentu tidak juga! Sebab kewenangan parpol tidak berada di tangan pengurus cabang/wilayah tingkat kota. Meski secara nurani, bisa diprediksi pengurus parpol tingkat kota bisa legowo jika yang diusung adalah perwakilan keluarga Asner Silalahi. Masalahnya, kewenangan final ada di tingkat pusat, bahkan harus pula melewati pengurus tingkat provinsi. Artinya, kalaupun seluruh parpol sepakat mengusulkan Sondi, prosesnya juga masih panjang dan butuh pemikiran, tenaga yang melelahkan guna meyakinkan delapan pimpinan parpol pada masing-masing tingkatan.

Kilas balik dari kasus periode sebelumnya, Togar Sitorus yang nota bene hanya diusung satu parpol, yakni Demokrat, butuh proses hampir setahun untuk bisa resmi dilantik sebagai Wakil Wali Kota. Sebelumnya, Hefriansyah dilantik sebagai Wakil Wali Kota pada 22 Februari 2017 dan baru pada 10 Agustus 2017 dilantik sebagai Wali Kota. Proses pemilihan Wakil Wali Kota di DPRD digelar 11 September 2017 dan pelantikannya baru dilaksanakan pada 12 Januari 2018.

Jika hanya satu parpol pengusung saja prosesnya sedemikian panjang, bagaimana pula dengan kondisi saat ini, di mana ada delapan parpol yang berhak sebagai pengusung? Padahal, jika merujuk pada UU No.10/2016, Pilkada serentak akan digelar pada bulan November 2024. Jika diasumsikan prosesnya serupa dengan yang dialami Togar Sitorus, berarti butuh setahun ke depan Wakil Wali Kota baru dilantik, berarti masa kerjanya tak sampai 2 tahun. Fakta ini tentu juga bisa menjadi pertimbangan pihak parpol untuk tidak memperlama proses pemilihan Wakil Wali Kota. Siapa pun tahu, bahwa untuk meraih jabatan Wakil Wali Kota akan membutuhkan pemikiran, tenaga, lobi-lobi serta cost politik yang besar.

Pada sisi lain, siapapun kandidat harus pula mempertimbangkan, bahwa sesuai UU.No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, pada intinya tugas Wakil Kepala Daerah adalah membantu Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan serta mewakili kepada daerah pada tugas-tugas tertentu. Namanya juga membantu, tentu penugasan sepenuhnya berasal dari Kepala Daerah dan wakil tidak memiliki kewenangan membuat keputusan atau kebijakan strategis apa pun dalam menjalankan roda pemerintahan. Artinya, perlu hitungan cermat dan jelimet termasuk soal cost politik yang dikeluarkan jika dibanding dengan kewenangan yang ada nantinya.

Begitupun, semuanya terpulang kepada para calon serta komitmen partai politik selaku pengusung. Harapan publik di Pematang Siantar terhadap niat baik, ketulusan dan empati parpol untuk mempertimbangkan kesungguhan keluarga almarhum Asner Silalahi juga patut diapresiasi. Dengan begitu, hiruk pikuk dinamika politik bisa teredam serta proses pengisian Wakil Wali Kota bisa berjalan cepat. Endingnya, tentu agar roda pemerintahan, pembangunan serta layanan publik di Kota Pematang Siantar bisa berjalan efektif, efisien sesuai visi-misi yang diusung PASTI (pasangan Asner Susanti) saat bertarung pada Pilkada 2020 lalu. ***

Pos terkait