SEBAGAI kota terbesar di Sumatera Utara setelah Medan, Siantar punya banyak karakter khas yang tidak dimiliki daerah lain. Pastinya, ada Sangnaualuh Damanik, Raja Siantar sang penentang kolonial meski akhirnya diasingkan ke Bengkalis dan wafat di tanah Melayu itu.
Catatan: Imran Nasution
Ada Adam Malik yang dalam buku “Si Bung dari Siantar”, mantan Wakil Presiden RI itu punya slogan “semua bisa diatur”. Kemudian, ada Cornel Simanjuntak, pencipta lagu nasional ”Teguhku Berlapis Baja”, “Maju Tak Gentar” dan lainnya.
Selanjutnya, setelah tembok tebal Orde Baru rubuh diterjang badai reformasi dan terlepas dari plus maupun minus, sejumlah Wali Kota Siantar pernah saling bergantian menginap di hotel prodeo karena tersandung kasus korupsi.
Siantar dulu dan kini memang berbeda. Tapi, seperti yang tetap sama atau tidak berubah sebagai karakter paling khas adalah suara anak Siantar (Siantarmen) kalau bicara, selalu jelas, tegas dan tak segan tekan gas. Apalagi kalau bicara politik, mayoritas orang Siantar tak ubahnya bagai politisi atau politikus.
Kalau politisi lokal yang duduk di jajaran kursi legislatif, jumlahnya jelas terbatas. Tapi, politisi lokal yang duduk di bangku warung atau kedai kopi maupun cafe, jumlahnya tak terbatas. Apalagi warung atau kedai kopi begitu mudah ditemukan di berbagai lokasi.
Politisi lokal di warung-warung kopi itu, selalu saja mengetahui kalau ada jarum jatuh di lingkungan eksekutif dan legislatif. Lantas, meluncur mulus berbagai pendapat mengitari opini publik. Meski pendapat apalagi pendapatan berbeda, tetap dapat akrab duduk di warung kopi sambil minum kopi atau teh manis bersama.
Terlepas dari mana, siapa dan apa suku maupun agama politisi lokal itu, rasa cinta dan bangga anak Siantar kepada tanah “Sapangambei Manokktok Hitei”, tak perlu ditawar-tawar seperti menawar cabe yang harganya selalu naik turun. Hanya saja, cara mengungkap rasa berbeda-beda dan itu adalah cerminan demokrasi yang indah di banding kalau hanya satu warna.
Ada mengungkapkan kecintaan kepada Siantar dengan rasa pedas bagai cabe yang harganya selalu naik turun itu. Tidak sedikit mengungkapkan dengan rasa pahit bagai kopi tanpa gula. Ada malah mengungkap rasa bagai teh manis hangat. Dan, ada mengungkap rasa bagai belimbing yang asam atau ada juga hambar karena tiada rasa.
Menurut temannya temanku yang tergolong politikus lokal, mengkritik silahkan meski tidak memberi solusi karena untuk mencari solusi itu adalah kerjaan Wali Kota bersama para pejabat yang digaji pakai uang rakyat. Termasuk uang rakyat kelas sandal jepit.
Temannya temanku juga bilang, saat mengkritik jangan pakai kaca mata kuda atau pakai kaca mata bolong. Apalagi pakai kaca mata hitam pada malam hari saat lampu listrik padam. Bahkan, jangan sekali-kali, apalagi berkali-kali mengkritik dengan tendensius kalau yang diketahui sangat terbatas. Sehingga, hanya katak dalam tempurung yang bisa menilainya baik.
Kata temannya temanku lagi, mengkritik bukan karena suka atau tidak suka. Tapi, jujurlah mengkritik demi Siantar ku, Siantar mu dan Siantar kita agar lebih baik dari sebelumnya meski menyelesaikan sejumlah masalah, tidak semudah mengkedipkan kelopak mata. Apalagi sekarang bermunculan pula masalah baru.
Sementara, kalau masalah lama yang belum terselesaikan dikumpul dengan masalah baru yang muncul, bukan tidak mungkin menumpuk bagai sampah yang mudah ditemukan di berbagai sudut kota, meski slogan LISA (Lihat sampah Ambil) masih disenandungkan tapi terdengar sayup.
JANGAN BERTANYA
Sejatinya, jangan bertanya mengapa hasil Pilkada 2020 lalu yang duduk menjabat adalah Susanti Dewayani. Sebab, itu adalah konstitusi dan perempuan pertama yang memimpin Siantar itu punya garis tangan. Sedangkan garis tangan berbeda dengan garis lukisan di atas kertas menggunakan pensil yang mudah dihapus pakai setip atau penghapus.
“Kalau kita bertanya mengapa dan mengapa, jawabannya malah menimbulkan tanya-tanya yang semakin sukar untuk dijawab,” ujar temannya temanku saat duduk di atas batu tepi sungai Bah Bolon yang kalau hujan di hulu, airnya berubah seperti kopi susu.
Untuk memajukan Siantar ku, Siantar mu dan Siantar, menurut temannya temanku yang pindah duduk di bawah tugu BSA, Jalan Merdeka, Wali Kota sebagai eksikutor tentu tidak berjalan sendiri. Ada legislator atau anggota dewan mengawasi sebagai lembaga politik yang duduk dijajaran kursi legislatif hasil pilihan rakyat.
Kesejajaran antar eksekutif dengan legislatif itu sesuai undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Karena, keduanya memiliki kedudukan yang sama sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, berdiri harus sejajar dan sama tinggi, duduk juga setara atau sama rendah.
Untuk itu, temannya temanku mengingatkan, meski DPRD punya bedil yang disebut hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat, jangan todongkan “bedil” itu untuk menjalin kemesraan yang dipaksa. Setelah itu, malah bernyanyi lagu kemesraan agar tidak cepat berlalu. Karena, kemesraan dapat membuat eksikutor dan legislator “berselingkuh”.
Perselingkuhan antar eksekutor dan legislator akan melahirkan “anak haram” yang dianalogikan sebagai kebijakan tak pro atau merugikan rakyat. Sedangkan jabatan atau kekuasaan adalah amanah yang punya batas waktu.
Ketika batas waktu tiba dan jabatan berakhir, libido politik untuk kembali berkuasa harus dikendalikan. Karena, rakyat yang semakin cerdas belum tentu mendukung. Apalagi tiada kemajuan terukur yang bermanfaat untuk Siantar ku, Siantar mu dan Siantar kita.
Kalau Siantar ku, Siantar mu dan Siantar kita tertinggal dibanding kota atau daerah lain, untuk mengejar ketertinggal itu, Wali Kota memang harus tancap gas. Tapi, harus pintar mengatur kecepatan karena jalan yang dilalui tidak selalu rata. Bahkan berlumpur dan penuh lobang yang menjebak.
Sementara, jabatan Wali Kota sekarang malah dibatasi dengan adanya pagelaran Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) serentak 2024. Termasuk Pilkada Kota Siantar. Sehingga, jabatan yang seyogianya berlangsung 5 tahun malah dipotong menjadi 3 tahun.
Sekarang, Siantarku, Siantarmu dan Siantar kita masih membutuhkan tangan-tangan berjari jemari terampil untuk bekerja mewujudkan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Tapi, terlepas dari suka atau tidak suka, pesimis atau optimis, kinerja Susanti Dewayani tampaknya masih diragukan banyak pihak untuk mengejar ketertinggal Siantar dengan kota atau daerah lain itu.
Kalau bergitu adanya, inilah Siantar ku, Siantar mu dan Siantar kita. Titik! (*)