Terhimpit di Sudut Kota, Kalah Pamor dengan Tugu Becak

Monumen pengibaran bendera merah putih di parkiran pariwisata. (foto jalatua)

Monumen Pengibaran Merah Putih Pertama di Pematang Siantar

 

Bacaan Lainnya

HARI INI 27 September 2022 merupakan hari bersejarah tersendiri bagi Kota Pematang Siantar. Persis 77 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya berkibar bendera Merah Putih di kota berhawa sejuk ini sebagai sebuah simbol keberanian dan kesucian. Memang di Jakarta, Sang Merah Putih telah berkibar sejak 17 Agustus 1945 bersamaan dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh dwitunggal Soekarno – Hatta. Namun tak demikian halnya dengan wilayah Pematang Siantar dan Simalungun yang sangat jauh jaraknya dari Jakarta.

Soalnya, ketika awal republik ini berdiri teknologi tentu belum secanggih sekarang. Jangankan teknologi informasi, berkirim secarik surat pun amat sulit. Selain karena kondisinya tak memungkinkan akibat ketatnya pengawasan Jepang selaku penguasa, sarana transportasi dan komunikasi untuk menyebarluaskan berita kemerdekaan sangat terbatas. Jangankan siaran televisi, arau pesawat telepon, siaran radio pun sangat langka terdengar mengudara saat itu. Oleh karena itulah, cukup logis jika berita Proklamasi Kemerdekan sangat lambat sampai ke daerah, termasuk Pematang Siantar dan Simalungun.

Pelan namun pasti, berita kemerdekaan Indonesia akhirnya sampai juga ke Pematang Siantar. Untuk membuktikan kepada tentara Jepang yang merasa masih jadi penguasa, para pemuda rakyat mengambil isiniatif yang sangat berani. Mereka spontan mengibarkan bendera Merah Putih untuk pertama kalinya, tak jauh dari pusat pemerintahan di Balai Kota Jalan Merdeka sekarang. Sayangnya, lokasi bersejarah nan heroik itu luput dari perhatian warga. Padahal, di sebelahnya terbentang Lapangan Merdeka (Taman Bunga) yang setiap hari ramai dipadati pengunjung dari Siantar dan Simalungun.

Peristiwa heroik yang digagas Abdul Aziz Siregar dan rekan-rekannya sesama pemuda digelar di Lapangan Pagoda (Lapangan Merdeka) pada 27 September 1945. Sebagai pertanda, sekaligus mengenang peristiwa amat bersejarah itu, pada tahun 1996 dibangunlah sebuah monumen kecil berbentuk prasasti di salah satu sudut Lapangan Merdeka, Kelurahan Proklamasi, Kecamatan Siantar Barat.

Persis di lokasi monumen dibangun itulah, diyakini bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan oleh laskar-laskar pemuda yang dilandasi nasionalisme. Lewat monumen ini, setiap orang yang melihatnya apalagi memmbaca isi prasastinya akan mengetahui bahwa di tempat itu pernah terjadi peristiwa penting yang patut dikenang sebagai memori kolektif bangsa. Sekaligus pula edukasi historis bagi setiap generasi.

Dalam rangka mengenang peristiwa tersebut, sekaligus merefleksikan nilai-nilai perjuangan para pahlawan kesuma bangsa, hari ini digelar kegiatan spontanitas kaum muda dari berbagai latar belakang. Kegiatannya pun dikemas jauh dari kesan ribetnya seremonial apalagi sampai pengumpulan massa. Tapi murni kegiatan spontanitas kaum muda yang merasa peduli dengan nilai-nilai perjuangan bangsanya di masa lalu. Meski sederhana tentu tetap sarat makna bagi kelanggengan pelestarian nilai-nilai sejarah bangsa.

Awalnya, monumen berbentuk prasasti yang diukir pada batu marmer warna hitam ini dilekatkan di atas bangunan konstruksi batu bata berplester masif. Namun sekitar 2 tahun lalu, di sebelahnya kini sudah ditambah dengan bangunan yang melukiskan teks proklamasi serta pemasangan lima buah tiang bendera berbahan stainless di depannya. Sekarang, monumen itu memang sudah tampak lebih beradab dari sebelumnya yang tampak sangat kesepian. Jika kita berjalan dari Jalan Merdeka dari samping Tugu Becak menuju Perpustakaan Sintong Bingei, prasasti itu berada di sebelah kanan kita. Persisnya di sudut kiri Lapangan Pariwisata, bersebelahan dengan tembok Perpustakaan milik Pemko Pematang Siantar.

Pada prasasti itu terukir narasi: “Tanggal 27 September 1945 di sekitar ini terjadi peristiwa upacara penggerekan/pengibaran bendera merah putih yang pertama di Pematang Siantar/Simalungun oleh Pemuda-pemuda dan kekuatan rakyat Siantar/Simalungun. Dibangun oleh: Tim Khusus Perencana/Pelaksana Pembangunan Tetengger di Kodya Tk II P.Siantar. SK Walikota Madya Tk II P. Siantar No.430/15-WK/1996 tanggal 29 Januari 1996”

Ironisnya, meski punya nilai sejarah tinggi, monumen ini tampak ‘tersembunyi’ sehingga luput dari perhatian warga. Parahnya lagi, tak ada pula pertanda semacam plank nama yang memberi informasi agar bisa secepatnya mengarahkan warga pelintas di Jalan Merdeka, bahwa di sekitar situ ada monumen penting bersejarah. Bahkan setelah berdirinya Tugu Becak tahun 2016, monumen tersebut makin ‘terhimpit’. Praktis, prasasti yang awalnya berbentuk trapesium tegak ini tampak ‘kesepian’ di tengah hiruk pikuknya aktivitas warga menikmati keriuhan kota di sekitarnya.

Fenomena ini amat kontras dengan Tugu Becak yang berdiri kokoh menjulang, persis berada di sebelahnya. Bangunan antik nan unik ini sangat menarik perhatian siapapun yang melintas di sana. Apalagi letaknya berada persis berada di tepi Jalan Merdeka. Padahal becak bermotor bermerk “BSA” yang banyak dipakai era Perang Dunia II ini, dibawa ke Indonesia seiring dengan masuknya pasukan Sekutu/NICA. Jelas peruntukannya bukan untuk kendaraan wisata tetapi merupakan kendaraan perang untuk menembaki para pejuang dan laskar-laskar rakyat yang berjuang demi mempertahankan kemerdekaan.

Sebaliknya, monumen Sang Merah Putih yang merupakan tonggak sejarah serta punya kaitan dengan momentum proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia malah jauh dari kesan nyentrik. Boleh jadi, karena bentuknya yang hanya bangunan polos dan tingginya juga tak sampai satu meter, terasa kurang menarik bagi warga, sehingga tak cocok sebagai lokasi atau latar berselfi ria (swa foto). Terlepas dari semuanya, tentu kita perlu tahu sekilas apa cerita sejarah yang melatari Pemerintah Kota Pematang Siantar ketika itu berkenan mendirikan prasasti tersebut sebagai sebuah monumen bersejarah.

Heroisme Gerakan Pemuda Rakyat

Saat Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan di Jakarta 17 Agustus 1945, tak serta-merta bisa langsung diketahui seluruh rakyat Indonesia. Selain wilayah Indonesia yang sangat luas, sarana komunikasi ketika itu sangat langka. Kalau pun ada yang memiliki pesawat telepon atau radio, mereka sudah tergolong warga kelas atas. Setidaknya, mereka adalah para pedagang, pegawai kolonial atau keturunan raja (bangsawan).

Media cetak seperti koran dan majalah pun sangat terbatas karena pemerintah Jepang tak gampang memberi izin. Mereka kerap membekukan media-media yang ada, utamanya media yang bersikap kritis terhadap kebijakan penguasa. Oleh karena itu, menjadi lumrah jika berita kemerdekaan sangat lambat diketahui penduduk. Apalagi tentara Jepang yang berkuasa menjelang kemerdekaan, berupaya menutup informasi agar rakyat jangan sampai mengetahui jika Indonesia sudah merdeka.

Jepang melarang penyebarluasan berita tentang kemerdekaan dan menyatakan informasi tersebut keliru. Maklum, mereka masih menguasai surat-surat kabar dan radio sehingga mereka masih leluasa menyatakan berita tentang proklamasi itu tidak benar. Meskipun tetap saja ada diantara tokoh-tokoh pergerakan atau penduduk yang memiliki radio dan diam-diam informasinya disebarluaskan secara terbatas kepada masyarakat.

Di Medan, berita kemerdekaan dibawa langsung oleh Mr. Tengku Moh.Hasan dan Dr.M.Amir sebagai utusan dari Sumatera yang menghadiri pembacaan teks proklamasi di Jakarta. Mereka tiba kembali di Medan pada tanggal 24 Agustus 1945 tetapi tidak langsung mengumumkannya. Pengumuman resmi baru dilakukan pada 30 September 1945 oleh Tengku Moh. Hasan, saat pertemuan Barisan Pemuda Indonesia (BPI) di Taman Siswa, Amplas Medan. (Edisaputra; 1987: 78). Pengumuman tentang kemerdekaan ini disambut meriah dan penuh antusias. Dengan semangat gegap gempita, para pemuda pun mengibarkan bendera merah putih yang sebelumnya sudah disiapkan.

Menurut Edisaputra dalam bukunya “Sumatera Dalam Perang Kemerdekaan: Perlawanan Rakyat Semesta Menentang Jepang, Inggris dan Belanda” terbitan Yayasan Bina Satria 45 Jakarta (1987), informasi tentang kemerdekaan di Sumatera Timur, khususnya Pematang Siantar Simalungun sudah terdengar sejak awal September 1945 oleh sejumlah tokoh-tokoh pergerakan. Salah seorang tokoh pergerakan yang dikenal di kalangan pejuang Siantar Simalungun ketika itu, Abdullah Yusuf. Yusuf pernah mendapat surat dari Dr.A.K.Gani di Palembang agar segera menyampaikan berita kemerdekaan kepada segenap rakyat di Simalungun.

Namun karena kebingungan memikirkan bagaimana teknis mengumumkannya, Yusuf mengajak rekannya sesama pejuang, diantaranya: Abdul Azis Siregar, Burhanuddin Kuncoro, Menes Tampubolon dan Ricardo Siahaan untuk berdiskusi. Apalagi, Yusuf punya pertimbangan jika tentara Jepang yang masih berkuasa saat itu pasti akan bereaksi, jika mereka mengumumkan bahwa Indonesia sudah merdeka. Bukannya dapat solusi, Yusuf malah didesak rekan-rekannya agar segera mengumumkan kemerdekaan kepada rakyat secepatnya.

Karena tak kunjung ada ketegasan dari Abdullah Yusuf yang malah terus memikirkan banyak pertimbangan, Abdul Azis Siregar dan rekan-rekannya spontan bertindak. Pada tanggal 27 September 1945, mereka menggelar apel pemuda di sekitar Lapangan Pagoda dan spontan mengibarkan Sang Merah Putih sembari menyanyikan bersama-sama lagu Indonesia Raya. Sedangkan teks proklamasi tak dibacakan karena memang mereka belum memperoleh salinan naskahnya. Berbeda dengan lagu Indonesia Raya yang sudah lama terdengar meski tersebar secara tersembnyi, jauh sebelum tentara Jepang masuk ke Indonesia.

Meski dalam kondisi serba terbatas, serupa dengan pemuda dan laskar rakyat di wilayah lainnya seantero nusantara, para pemuda di Pematang Siantar turut berkontribusi dalam mempertahankan kemerdekaan. Namun yang pasti, mereka adalah tentara-tentara rakyat yang kelak menjadi cikal bakal TNI, yang berperan aktif semasa perang kemerdekaan.

Pengibaran bendera Merah Putih pertama kalinya di Pematang Siantar dan pertanda pengumuman kemerdekaan ini, merupakan langkah berani para pemuda Siantar Simalungun. Padahal hanya terpaut puluhan meter dari lokasi mereka menggelar upacara, tentara Jepang mengamatinya dari markasnya di Siantar Hotel. Namun mereka tampak diam seribu bahasa melihat tindakan heroisme para pemuda meski tanpa dihadiri jawatan-jawatan atau dinas-dinas maupun perwakilan pemerintahan atau raja-raja setempat.

Kehadiran monumen ini, paling tidak, sekadar membingkai memori kolektif publik, kuhususnya warga Pematang Siantar untuk mengenang dan merefleksikan peristiwa sejarah kemerdekaan 1945. Makanya, kita turut prihatin jika monumen yang harusnya memberi nilai edukasi historis pada generasi muda, amat minim perhatian. Semoga saja, kedepannya masih ada upaya dari pihak-pihak terkait, bagaimana caranya agar monumen bersejarah ini bisa lebih mendapat perhatian khalayak dan memang layak dijadikan wisata historis. (jalatua/litbang intuisi).

 

 

Pos terkait